Keadaan darurat yang dimaksud di sini adalah di medan yang jauh dari istri-istrinya, maka tiada pilihan lain. Apabila tidak dibolehkan maka dengan perempuan-perempuan di sekitar lokasi peperangan terjadi, para Sahabat mungkin memilih dengan mengebiri atau dikhawatirkan justru terjerumus ke lembah perzinaan maka dihalalkan mut’ah pada awal Islam adalah untuk melunakkan hati mereka yang baru saja menerima ajaran Islam Sungguh tidak rasional jika Rasulullah saw menuntut para sahabat yang sedang berjihad tersebut dengan berpuasa untuk melemahkan syahwatnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang lain agar menahan syahwat dengan puasa. "Karena jika demikian. akan banyak Sahabat yang merasa berat pergi berjihad. Sedangkan Islam harus disebarkan secara meluas.
Berdasarkan keterangan di atas bahwa pernikahan kontrak diperbolehkan pada era Nabi saw karena :
(1) Merupakan rukhsah (keringanan) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh dua kelompok yang imannya kuat dan lemah, dalam kondisi berjihad perang yang jauh dari istri-istri mereka.
(2) Merupakan langkah awal perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan, melestarikan keturunan, cinta kasih sayang dan memperluas kekeluargaan melalui perbesanan.
b. Tinjauan Fenomena Nikah Mut'ah dan Nikah Sirri di Indonesia
Selain mengundang kontroversi, nikah mut’ah, sebenarnya tidak lazim di Indonesia, karona masyarakat Indonesia pada umumnya bermazhab Sunni. Jenis nikah mut’ah merupakan budaya bagi penganut aliran Syi'ah (di Iran). Namun, ternyata, di beberapa tempat di Indonesia telah mempraktekkan jenis nikah ini untuk tujuan sesaat.
Fenomena pernikahan mut'ah tersebut cukup memprihatinkan.
Bahkan, menurut penelitian Litbang Kemenag bahwa pernikahan kontrak di Indonesia sebagian besar telah menjurus ke penyimpangan . Penyimpangan ini dapat ditinjau pada tata cara pelaksanaan pernikahannya yang tidak mengikuti aturan Undang-Undang pernikahan yang berlaku di Indonesia dan hanya syahwat sesaat, sehingga otomatis tanpa memperhatikan dampak pasca pernikahan,ada hak anak dan tanpa ada waris mewarisi
Menurut Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, UU RI no.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun syarat rukunnya, diatur dalam UU RI no. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2, (1) yakni perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya, Ayat (2) berbunyi, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi, menurut UU yang berlaku di Indonesia, bahwa pernikahan tidak berlaku bagi yang sejenis dan bersifat monogami kecuali dengan alasan-alasan tertentu. Pasal 2
(1), pernikahan harus dilangsungkan secara hukum agama atau kepercayaannya masing-masing. Sementara dalam pasal 2
(2), bahwa pernikahan tersebut dicatatkan. Ayat ini tidak tegas, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda Versi pertama, menganggap bahwa pernikahan di Indonesia harus dibuktikan dengan adanya buku nikah. Versa kedua, menganggap bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan pada pihak yang berwenang, bukan berarti tidak sah, asalkan syarat rukunnya terpenuhi . Dalam posisi ini, fatwa MUI masuk dalam kategori versi kedua